Label Posting

Halalkah MLM Dalam Islam ?

Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka, termasuk bisnis MLM (Multi Level Marketing). Tentu saja ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Berikut ini saya sampaikan beberapa pendapat tentang bisnis MLM itu sendiri.

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sesuai firman Allah, “…Allah telah menghalalkan jual beli…” (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya.

Kejelasan Akad

Berbicara mengenai masalah mu’amalah, Islam sangat menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar (penipuan) dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad.
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalah yang memiliki kejelasan akad.

Sistem Murabahah

Jika akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa marjin profit yang disepakati. Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.

Misalnya A membeli produk dari PT.MLM. Kemudian A menjual kepada B dengan mengatakan, “Saya menjual produk ini kepada anda dengan harga Rp 11.000,-. Harga pokoknya Rp 10.000,- dan saya ambil keuntungan Rp 1.000,-.
Selanjutnya B tidak dapat langsung bertransaksi dengan PT.MLM. Jika B mau menjual kepada C, maka prosesnya sama dengan A (keuntungan yang hendak diambil terserah kepada B).

Sistem Mudharabah

Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Mudharabah adalah Akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, 2/66).

Mudharabah sendiri terdiri dari Mudharabah Muqhthalaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Selanjutnya hak yang diperoleh A adalah berdasarkan kesepakatan antara A dengan PT.MLM.

Mudhorobah Muthlaqoh adalah kontrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Sedangkan Mudhorobah Muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu.

Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya dengan syarat dijual kepada member dengan harga Rp 100.000,-. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Jika A menjual produk kepada member PT.MLM, maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,-, sedangkan jika ia menjual kepada non member, maka ia bebas menjual berapapun harga yang diinginkan A. Selanjutnya hak A adalah kesepakatan antara A dan PT.MLM atas pembagian keuntungan dari penjualan produk kepada non member.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika A melakukan proses mudharabah kepada B (sebagai downline nya) ?
Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika produk itu diserahkan kepada PT.MLM [pemilik modal]. Golongan ini berpendapat bahwa A [mudhorib pertama] tidak bertanggung jawab terhadap produk yang diserahkannya kepada B [mudhorib kedua] kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. PT.MLM [pemilik modal] mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan A [mudhorib pertama]. Sementara itu bagian keuntungan dari A [mudhorib] dibagi berdua dengan B [mudhorib yang kedua] sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya [antara A dan B].

Berkaitan dengan hak-hak A [mudhorib] yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha yaitu, pertama, biaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan A [mudhorib] menggunakan modal untuk biaya operasi kecuali diizinkan oleh PT.MLM [pemodal]. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya biaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Biaya operasi ini akan diambil dari keuntungan, jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, A [mudhorib] mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa.

Sistem Musyarakah

Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Misalnya PT.MLM bekerja sama dengan A untuk menjual produknya. Dalam kesepakatan, PT.MLM menyediakan barang, sedang A menanggung biaya transportasi pemasaran. Selanjutnya hak masing-masing dibagi sesuai dengan kesepakatan.

Jika akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya, berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antara pemilik barang dan penyewa yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).

Kalau akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan keuntungan berapapun besarnya. Secara istilah wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Namun kalau orang yang dititipkan barang/penjaga barang mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya penjaga barang harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu penjaga barang tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.

Demikian pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking, merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.

Logika bisnis riil

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah logika bisnis riil. Apakah mungkin suatu usaha bisnis riil dapat menjanjikan keuntungan berlipat-lipat, bahkan hingga ribuan persen, dalam waktu yang sangat singkat? Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Biasanya profit semacam itu hanya dihasilkan dari aktivitas spekulasi di pasar uang dan pasar modal konvensional, dengan instrumen bunga dan gharar yang sangat kental.

Sumber :
Berbisnis Secara Syariah, Mengkaji Ulang MLM, Irfan Syauqi Beik, Msc [Anggota Dewan Asatidz PV dan Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia, sumber tulisan : www.pesantrenvirtual.com dengan sedikit edit tanpa mengurangi maksud dari tulisan beliau]

Fakta Yang Terjadi Pada MLM

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sangat terlihat dengan jelas bahwa system MLM yang berjalan saat ini tidak sesuai dengan syari’at.
Bagaimana mungkin para pebisnis MLM dapat menuai hasil jutaan rupiah hanya dengan menkonsumsi/membeli/menjual sekian produk.

Sebagai contoh, A terdaftar sebagai member PT.MLM. Sesuai dengan kesepakatan dari PT.MLM, untuk mendapatkan bonus, A harus menjual/membeli/mengkonsumsi produk PT.MLM sebanyak 50 poin (misalkan bonus Rp 1 Juta). Dengan mengkonsumsi/menjual/membeli dengan nilai 50 poin, A akan mendapatkan bonus atas penjualan/pembelian/konsumsi pribadi dan bonus poin jaringan group. Selanjutnya A merekrut 3 orang downline, dan masing-masing downline melakukan hal yang sama seperti A. Kemudian pada akhir bulan (atau istilahnya closing), A berhasil menjual/mengkonsumsi/membeli produk senilai 50 poin, sedangkan poin jaringan group berhasil menjual/mengkonsumsi/membeli produk senilai 500 poin.
Kalkulasi yang umum terjadi kemudian adalah sebagai berikut :
Bonus yang didapat oleh A :
Penjualan/konsumsi pribadi = 50 poin
Penjualan/konsumsi group = 500 poin
Total Bonus = 550 poin

Dari sini dapat kita lihat, total bonus yang akan dikalkulasikan untuk bonus A adalah sebesar 550 poin. Bagaimana mungkin A mendapatkan bonus senilai 550 poin, sedangkan A hanya berhasil mencapai target 50 poin. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hak A adalah hanya sebesar 50 poin, sedangkan sisanya bukan haknya.

Umumnya, para pebisnis MLM seakan tidak tahu, tidak mengerti atau mungkin tidak mau tahu dan tidak mau mengerti dengan realita seperti ini. Kemudian mereka akan mengatakan, “Saya berhak mendapat bonus dari jaringan saya karena saya yang merekrut mereka melalui para downline-downline saya“. Sistem seperti inilah yang memang ditetapkan oleh perusahaan yang menjalankan system MLM. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam.

Ini yang menjadi permasalahan. Para promoter (upline) merasa bahwa mereka berhak mendapatkan kontribusi dari hasil kerja downline mereka. Persepsi seperti ini yang diterapkan kepada para downline mereka. Mereka mengatakan kepada para downline-nya, “Jika anda ingin seperti saya, maka anda harus menerapkan hal yang sama kepada para downline anda“.

Atau mungkin mereka akan mengatakan, “Sistemnya memang seperti ini“. Tapi para pebisnis MLM tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) bahwa ini bertentangan dengan aturan bermuamalah dalam syariat Islam.

Ada juga para pebisnis MLM yang mengatakan, “Sistem yang dijalankan tidak zhalim. Bisa saja para downline memiliki peringkat dan penghasilan yang lebih besar daripada upline, karena para downline bekerja lebih baik daripada upline mereka. Jadi tidak zhalim“.

Lantas siapa yang berhak menentukan kriteria zhalim atau tidaknya system yang berjalan ? Tidak lain yang mengatakannya adalah para pemilik perusahaan dengan system MLM dan para pebisnis MLM. Bagaimana mungkin mereka bisa mengatakan “ini tidak zhalim”, sedangkan mereka mendapatkan bonus dari hasil kerja downline mereka, atau bonus mereka didapatkan dari perhitungan bonus group (hasil kerja downline) mereka. Seakan mereka merasa berhak mendapatkan kontribusi atau apapun namanya dari hasil kerja downline mereka, inilah yang dinamakan zhalim dan bathil. Sedangkan dalam Al Qur’an sudah jelas dikatakan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil…” [QS Al Baqarah 188]. Dan firmanNya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS Asy Syu'araa' 183].

Kalau mereka mau mengakui dengan sejujurnya, bahwa bonus yang benar-benar menjadi hak mereka hanyalah dari hasil penjualan/konsumsi/pembelian pribadi mereka. Para downline dan upline bekerja dalam satu team. Dalam artian, para downline tidak bekerja untuk upline, karena bonus yang didapatkan tidak dibayarkan dari kantong pribadi upline mereka. Terkecuali, bonus para downline dibayarkan oleh para upline, maka bisa dikatakan para downline memang bekerja untuk upline.

Sepertinya hal ini sudah jelas dan sangat jelas untuk dipahami. Hanya saja para pebisnis MLM dan perusahaan dengan system MLM menyamarkan kondisi ini, dan bisa juga karena kejahilan atau ketidakmautahuan para pebisnis itu sendiri.

http://www.bamah.net/2011/08/akhirnya-mlm-halal-dalam-islam/